Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia

Minggu, 04 Desember 2011

Suku Bangsa Dayak





Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah kumpulan/federasi dari berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai pendatang awal yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Suku bangsa Dayak terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.


Etimologi
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu [sungai] atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya, sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah Daya ditujukan untuk rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya[17], khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.


Asal usul suku bangsa Dayak
Secara umum seluruh penduduk di kepulauan Nusantara disebut-sebut berasal dari Cina selatan, demikian juga halnya dengan Suku Dayak. Tentang asal mula bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa Cina dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok-kelompok kecil) diperkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.
Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-197 8)

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)


SUKU DAYAK BERASAL DARI KHAYANGAN

Ada banyak versi asal usul suku bangsa Dayak. Berikut sebagai bahan referensi berdasarkan cerita lisan yang berkembang di tengah masyarakat Dayak.


Versi Ibanic Grop
Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Dayak Mualang ini hidup dan bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat Pangau Banyau ( kumpulan orang-orang khayangan dan manusia )kemudian kesemuanya itu disebut Urang Negeri Panggau/Orang Menua artinya orang yang berasal dari tanah ini (Borneo).


Tampun Juah
'Tampun Juah' merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau hidup di daerah bukit kujau’ dan bukit Ayau, kira-kira di daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya. Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis.
Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.
Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki bernama Juah dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh seorang yang bernama lujun (algojo / tukang eksekusi) pada Ketemenggungan Guntur bedendam Lam Sepagi/Jempa.
kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah sepasang suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat Mengawang ( perempuan).
Kedua orang tersebut merupakan symbol terciptanya manusia pertama ke dunia, sesuai dengan arti dari nama keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang turun ke bumi, symbol seorang laki –laki dan pukat mengawan adalah celah – celah dari jala / pukat yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut menerobos atau menembus celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria dan wanita. Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni: Tujuh orang laki –laki dan tiga orang perempuan. Yaitu:
1. Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir )
2. Puyang Belawan
3. Dara Genuk ( perempuan )
4. Bejid manai
5. Belang patung
6. Belang pinggang
7. Belang bau
8. Dara kanta” ( perempuan )
9. Putong Kempat ( perempuan )
10. Bui Nasi ( awal mula adanya nasi)
- Puyang Gana lahir tidak seperti kelahiran manusia normal, ia mempunyai kaki satu, tangan satu dan lahir dalam keadaan meninggal. Karena mempunyai tubuh yang tidak lazim atau jelek, ia diberi nama Gana, ia di kubur dibawah tangga. Ketika ada pembagian warisan ia datang dalam rupa yang menyeramkan (hantu) dan meminta bagiannya hingga karna suatu alasan maka ia mengklaim dirinya sebagai penguasa seluruh tanah dan hutan.( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.184 – 188 ). - Puyang Belawan lahir secara normal seperti manusia biasa. - Dara Genuk lahir kerdil atau mempunyai tangan dan kaki yang pendek, oleh sebab itu ia di sebut Dara genuk. - Bejid Manai lahir dan mempunyai sedikit kelainan pada bagian tubuhnya, yakni kemaluannya besar. Oleh sebab itulah ia disebut Bejid Manai. - Belang Patung lahir dan mempunyai kelainan pada setiap ruas tulangnya yang belang – belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Patung. - Belang Pinggang lahir dan mempunyai pinggang yang belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Pinggang. - Belang Bau lahir dalam keadaan belang dan tubuhnya bau, oleh sebab itu ia disebut Belang Bau. - Dara Kanta” lahir normal tetapi mempunyai Cala ( tanda hitam ) dipipinya, oleh sebab itu ia disebut Dara Kanta”. - Putong Kempat lahir dalam keadaan normal dan ia mempunyai tubuh yang indah dan kecantikannya luar biasa tak terbayangkan, Upa Deatuh / upa dadjangka” oleh sebab itu ia disebut Putong Kempat. - Bui Nasi lahir dalam keadaan aneh, karena lansung dapat bicara dan merengek minta nasi dan kelahiran inilah awal mula orang Pangau Banyau makan Nasi.2. ( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.185). Menyebabkan ayah dan Ibunya memohon kepada Petara untuk mengubahnya menjadi bibit padi.
Orang Buah Kana
Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus, sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ).


versi Kharinga : Dayak Kalteng
Menurut kepercayaan agama Hindu Kaharingan, manusia berasal dari keturunan Raja Bunu yang menuju jalan pulang ke Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa).
Raja Bunu adalah anak dari pasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun. Manyamei Tunggul Garing dan Kameloh Putak Bulau merupakan menurut Hindu Kaharingan adalah manusia yang pertama kali diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit. Dan Raja Bunu memang diwariskan untuk menghuni bumi dengan ciri–ciri keturunannya bisa mati atau meninggal setelah keturunan ke sembilan. Ciri–ciri yang lain adalah Raja Bunu tidak bisa menginang, maka diganti makanannya diganti menjadi beras, lauk–pauk, dan lain-lain seperti makanan kita sekarang ini.
Raja Bunu dianugrahi oleh Ranying Hatalla Langit sebuah besi bernama Sanaman Lenteng. Sanaman Lenteng adalah sebuah besi yang tidak sengaja ditemukan oleh Raja Bunu sewaktu ia bermain di sungai dengan kedua saudaranya. Kedua saudara Raja Bunu itu masing–masing bernama Raja Sangen dan Raja Sangiang. Besi yang ditemukan oleh tiga bersaudara ini aneh, karena yang satu ujung besinya timbul ke permukaan air dan ujung yang lain tenggelam. Kalo dianalogikan, seharusnya seluruh batang besi itu tenggelam.
Raja Bunu secara tidak sengaja memegang ujung Sanaman Lenteng yang tenggelam dan kedua saudaranya memegang ujung yang timbul ke permukaan air, sehingga menurut ceritanya gara-gara Raja Bunu tidak sengaja memegang ujung dari Sanaman Lenteng yang tenggelam, maka kehidupannya tidak abadi seperti kedua saudaranya yang lain, yaitu Raja Sangen dan Raja Sangiang. Besi yang mereka dapati itu akhirnya dibuat menjadi Dohong Papan Benteng (sejenis alat khas yang bentuknya seperti pisau) oleh ayah mereka.
Raja Bunu dan kedua saudaranya dianugrahi juga oleh Ranying Hatalla Langit seekor burung yang bernama Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan. Mereka dianugrahi seekor burung itu ketika mereka sedang berada di sebuah bukit yang bernama Bukit Engkan Penyang.
Ketika mereka sudah mendapati burung itu, rupanya tiga saudara itu tidak ada yang mau mengalah dan terus berebut untuk mendapatkan burung itu. Tiba–tiba Raja Sangen menghunus dohong-nya lalu menghujamkannya ke arah burung itu. Sehingga darah burung itu pun keluar dan Raja Sangen pun berinisiatif untuk menampung darah burung tersebut ke sebuah sangku (sejenis mangkok). Dan dengan sekejap darah burung yang ditampung di dalam sangku itu pun berubah menjadi emas, berlian, dan permata.
Rupanya ayah ketiga bersaudara itu mengetahui perbuatan ketiga anaknya itu. Maka, dengan kesaktiannya sang ayah pun pergi menemui ketiga anaknya itu. Sesampainya di sana Manyamei Tunggul Garing (ayah mereka) melihat apa yang telah diperbuat oleh anaknya karena sang ayah merasa iba kepada burung itu dan takut ketiga anaknya kualat dengan Ranying Hatalla Langit atas perbuatan mereka, sang ayah pun dengan kesaktiannya menyembuhkan luka pada burung itu.
Karena rasa iri terhadap saudaranya yang mendapatkan emas, berlian, dan harta itu. Maka, Raja Sangiang pun menghujamkan dohong-nya ke arah burung itu sehingga darah burung itu pun keluar dengan derasnya dan ia pun melakukan hal yang sama yaitu mengambi sangku untuk menampung darah burung itu. Kejadiannya pun sama persis dengan yang didapatkan oleh Raja Sangen yaitu, emas, berlian, dan lain-lain. Dan ayah mereka pun akhirnya menyembuhkan luka pada burung tersebut. Sehingga burung itu pun sehat kembali.
Dan lagi–lagi keserakahan dan rasa iri itu menghinggapi Raja Bunu. Ia pun melakukan apa yang telah dilakukan oleh kedua saudaranya itu dan ia pun mendapatkan hasil yang sama seperti yang diperoleh oleh kedua saudaranya. Dan lagi–lagi sang ayah pun karena merasa iba akan burung itu maka ia pun menyembuhkan luka burung itu. Tetapi rupanya luka burung itu tidak dapat sembuh seperti sedia kala. Akhirnya burung itu terbang dengan membawa luka dan darahnya menetes membasahi wilayah itu. Darah burung yang menetes itulah yang kemudian menjadi kekayaan yang berlimpah ruah. Karena kondisi fisik burung itu yang semakin lelah dan lukanya semakin parah, burung itu pun akhirnya mati.
Akhirnya tempat burung itu mati dipenuhi dengan kekayaan yang abadi, dan menurut kepercayaan agama Hindu Kaharingan tempat itu disebut dengan Lewu Tatau (Surga).


Versi :kanayant
Sejarah dapat dilihat berawal dari kisah cerita Ne' Baruakng Kulup ( salah satu versi cerita) yang menurunkan padi dari atas langit, ke bumi. Ne' Baruakng adalah anak Ne' Ja'ek, yang berjasa memperoleh tangkai padi untuk pertama kalinya dari seekor burung pipit, yang membawangnya diantara dua buah batu badangkop ( batu kembar) dan sekarang dapat ditemui dibukit Talaga.
Alkisah, mereka tinggal diatas (langit) . Ne' Baruakng ini yang sering turun ke bumi berkomunikasi dengan mahluk di bumi, suatu hari melihat mereka (penduduk bumi) makan kulat karakng (cendawan), yang sangat asing baginya. Secara kebetulan pula Ne' Baruakng waktu di bumi membawa butir butir putih ( yang kemudian dikenal dengan nasi).
Keadaan ini terlihat oleh mahluk di bumi. Mereka meminta dan memakannya. Terasa enak. Singkat kata, sejak saat itulah Ne' Baruakng lalu memperkenalkan padi di Bumi.
Sejak itu pula mahluk dibawah (bumi) mulai makan nasi dan meninggalkan cendawan kerang.
Kepercayaan masyarakat Talaga bahwa asal Dayak, khususnya Kanayatn( mereka sebut pula dengan Dayak Bukit) adalah atas, tempat yang serba menyenangkan dan dikenal dengan sebutan Bawakng. Karenanya, dalam setiap bentuk upacara adat para tokoh Dayak ini tidak melupakan sebuatan Bawakng ini, yang menyatakan sumber atau asal usul Dayak Kanayatn. Nampaknya tempat inilah dulunya yang merupakan asal usul keluarga Ne' Baruakng, yang sudah menjadi Talino. Melihat bukti sejarah, seperti batu badangkop di bukit Telagadapat diketahui bahwa Talaga adalah bagian dari tempat diatas (langit) atau Bawakng.
Dayak Kanayatn yang bermukim di Binua Talaga yang terdapat di kecamatan Sengah Temila kini menyebar kebeberapa Kampung ( Sahamp, Palo'atn, Aur Sampuk, Sinakin. Gombang)


Asal Mula Manusia dan Alam Semesta dalam Pandangan Orang Taman
Orang Daya Taman sebagaimana juga orang Daya sebagai keseluruhan, tidak memilki tradisi tertulis dalam sejarah peradabannya. Mereka hanya memiliki tradisi lisan, dan tradisi lisan itupun sekarang hampir terlupakan karena orang Daya telah mengenal tulisan. Pengenalan akan tulisan ini lahir dari pengaruh masuknya misi agama Katolik dan pendidikan formal pemerintah. Dalam sejarahnya, tradisi lisan sangat vital bagi masyarakat Daya. Inilah satu-satunya cara untuk menyampaikan detil-detil tradisi atau aturan-aturan hidup kepada anak cucu secara turun temurun. Dalam cerita yang disampaikan secara turun temurun itu diketahui bahwa manusia dan alam semesta memiliki awal kejadian yang tak lepas dari adanya wujud tertinggi.
Asal mula alam semesta dan manusia dalam pandangan orang Daya Taman dapat diketahui dalam kisah penciptaan yang dituturkan tiga malam berturut-turut dalam acara bumbulan yang disebut cerita kalimongonan. Kalimongonan adalah acara penuturan kembali peristiwa kejadian asal mula alam semesta dan manusia. Menceritakan kembali persitiwa penciptaan merupakan bagian inti dari acara bumbulan. Upacara bumbulan merupakan upacara penting menjelang pesta Gawai raa. Dalam cerita tersebut dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Alaatala.
Alaatala menciptakan alam semesta yakni langit dan bumi beserta isinya dengan kuasa mujizat atau disebut dengan panyunyua. Panyunyua adalah cara Alaatala menggunakan kehendaknya untuk mengadakan segala sesuatu menjadi ada seketika tanpa bahan dan alat. Setelah Alaatala menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Alaatala memberi tugas kepada Piang Sampulo untuk membuat manusia sesuai dengan rupa Piang Sampulo sendiri. Piang Sampulo inilah yang kemudian mengajarkan cara hidup kepada manusia pertama yang ia ciptakan. Manusia pertama yang diciptakan oleh Piang Sampulo dan Bai’ Kunyanyik bernama Bai’ Idi’langilangsuan dan Piang Tina.


VERSI DAYAK TAMAN KAPUAS
Asal Mula Manusia dan Alam Semesta dalam Pandangan Orang Taman
Orang Daya Taman sebagaimana juga orang Daya sebagai keseluruhan, tidak memilki tradisi tertulis dalam sejarah peradabannya. Mereka hanya memiliki tradisi lisan, dan tradisi lisan itupun sekarang hampir terlupakan karena orang Daya telah mengenal tulisan. Pengenalan akan tulisan ini lahir dari pengaruh masuknya misi agama Katolik dan pendidikan formal pemerintah. Dalam sejarahnya, tradisi lisan sangat vital bagi masyarakat Daya. Inilah satu-satunya cara untuk menyampaikan detil-detil tradisi atau aturan-aturan hidup kepada anak cucu secara turun temurun. Dalam cerita yang disampaikan secara turun temurun itu diketahui bahwa manusia dan alam semesta memiliki awal kejadian yang tak lepas dari adanya wujud tertinggi.
Asal mula alam semesta dan manusia dalam pandangan orang Daya Taman dapat diketahui dalam kisah penciptaan yang dituturkan tiga malam berturut-turut dalam acara bumbulan yang disebut cerita kalimongonan. Kalimongonan adalah acara penuturan kembali peristiwa kejadian asal mula alam semesta dan manusia. Menceritakan kembali persitiwa penciptaan merupakan bagian inti dari acara bumbulan. Upacara bumbulan merupakan upacara penting menjelang pesta Gawai raa. Dalam cerita tersebut dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Alaatala.
Alaatala menciptakan alam semesta yakni langit dan bumi beserta isinya dengan kuasa mujizat atau disebut dengan panyunyua. Panyunyua adalah cara Alaatala menggunakan kehendaknya untuk mengadakan segala sesuatu menjadi ada seketika tanpa bahan dan alat. Setelah Alaatala menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Alaatala memberi tugas kepada Piang Sampulo untuk membuat manusia sesuai dengan rupa Piang Sampulo sendiri. Piang Sampulo inilah yang kemudian mengajarkan cara hidup kepada manusia pertama yang ia ciptakan. Manusia pertama yang diciptakan oleh Piang Sampulo dan Bai’ Kunyanyik bernama Bai’ Idi’langilangsuan dan Piang Tina.
Menurut Y. C. Thambun Anyang, kepercayaan terhadap Alaatala sudah ada jauh sebelum kedatangan agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan. Orang Taman percaya bahwa tujuan hidup manusia ialah Alaatala. Alaatala itu berupa roh kekal dan dianggap sebagai sumber keselamatan bagi manusia. Meskipun dianggap sebagai sumber keselamatan, orang Taman tidak memiliki upacara yang dipersembahkan secara istimewa kepada Alaatala, kecuali doa untuk meminta agar hidup selamat, terhindar dari segala penyakit dan marabahaya. Upacara untuk penghormatan dengan kurban atau sesajen diadakan untuk para arwah leluhur atau roh-roh nenek moyang. Upacara adat sebagai ungkapan religiositas asli selalu melibatkan leluhur. Upacara adat Gawai raa permohonan keselamatan bagi kehidupan manusia dialamatkan kepada Alaatala, melalui leluhur.
Orang Daya Taman meyakini adanya eksistensi roh. Roh dalam kepercayaan tradisional sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan. Roh dalam bahasa Taman ialah Sumangat. Keberadaan Sumangat ini tidak hanya pada manusia tetapi juga ada pada makhluk-makhluk lain, seperti binatang dan juga pada benda-benda hidup maupun benda mati yang ada dalam alam semesta ini. Roh-roh yang ada pada setiap makhluk dan benda itu berasal dari Sang Pencipta atau Alaatala, sebab roh yang ada tersebut merupakan ciptaan Alaatala. Alaatala dengan kuasanya menciptakan langit dan bumi serta manusia bersama ciptaan lain untuk hidup dan tinggal di dalamnya.
Kepercayaan tertinggi orang Taman adalah kepercayaan kepada Alaatala. Mula-mula Alaatala dengan kuasaNya, menciptakan Sampulo, kemudian Sampulo diberi kuasa oleh Alaatala untuk menciptakan manusia. Maka, atas dasar kuasa Alaatala itu pula Sampulo diberi tugas untuk membuat manusia sesuai dengan citra Sampulo yang diciptakan oleh Alaatala sendiri. Manusia yang diciptakan Sampulo atas kuasa Alaatala itu memiliki roh yang berasal dari Alaatala sendiri. Roh yang ada pada manusia dimasukkan oleh Sampulo lewat kepala pada saat Sampulo menciptakan manusia pertama. Kepala merupakan tempat Sampulo meniupkan nafas kehidupan sehingga manusia dapat hidup, bergerak, berbicara dan berjalan. Maka ubun-ubun di kepala manusia merupakan pintu keluar masuknya roh itu.
Orang Taman meyakini keberadaan roh yang disebut Sumangat itu. Selain roh yang berasal dari Alaatala, diyakini pula keberadaan roh-roh lain sebagai lawan dari roh yang hidup dalam ciptaan Alaatala itu, yakni roh halus yang suka menangkap jiwa manusia. Dalam bahasa Taman roh halus itu disebut Sai. Dalam kepercayaan orang Taman, munculnya penyakit yang diderita oleh manusia merupakan perbuatan dari Sai yang suka menangkap jiwa manusia tersebut. Maka untuk menyembuhkan orang dari penyakitnya ialah dengan mengambil kembali roh (Sumangat) orang tersebut dari cengkraman roh halus (Sai). Untuk itu diadakanlah upacara penyembuhan pengambilan kembali Sumangat yang telah ditangkap oleh Sai itu. Upacara ini disebut dengan upacara bermanang atau Balian (bahasa Melayu) atau upacara arabalien (bahasa Taman). Upacara bermanang atau arabalien itu dikerjakan oleh Manang (Melayu), Balien (Taman). Manang atau Balien adalah orang yang memiliki kharisma tertentu dan bisa berkomunikasi dengan Sai, maka hanya merekalah yang dapat melakukan upacara penyembuhan.

(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar