Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia

Senin, 05 Desember 2011

MENGAYAU ATAU PERANG ? Fenomenologi Kekerasan Antar Etnis di Kalimantan Barat

oleh John Bamba
makalah untuk Seminar Dalam Rangka Kampanye Melawan Diskriminasi Ras, Etnis, Agama, Jender, Xenophobia dan Bentuk-Bentuk Intoleransi Lainnya "HindariKekerasan. Hentikan Diskriminasi. Kita Semua Manusia" di Pontianak 18 September 2001 kerjasama Komnas HAM-Insitut Dayakologi

Pengantar


Ketika umat manusia meninggalkan abad 20 dan memasuki Millenium III, mereka tidak hanya memasuki suatu era yang ditandai dengan globalisasi di segala bidang, teknologi canggih dan komunikasi tanpa batas, melainkan meninggalkan pula suatu masa yang ditandai dengan sejarah paling kelam umat manusia yang menjadi korban berbagai kekerasan dan pertikaian mulai dari peperangan antar negara, antar etnis, antar agama dan antar idiologi. Paul van Tongeren-Direktur Eksekutif European Center for Conflict Prevention - melukiskan abad 20 sebagai,"...yang paling kejam dalam sejarah, belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal skala dan intensitas pembunuhan dan kehancuran yang diakibatkannya."[1] Sedihnya, 70% dari sekitar 21,8 juta orang yang menjadi korban dari 127 peperangan di dunia adalah penduduk Asia.[2] Beberapa hari yang lalu, dunia kembali dikejutkan oleh tragedi akibat ulah ‘pasukan jibaku’ teroris yang membajak 2 pesawat komersial milik United Airlines dan menabrak pusat kegiatan ekonomi terbesar di dunia yakni gedung World Trade Center. Pesawat yang lain, setelah dibajak ditabrakkan ke Gedung Pentagon yang merupakan icon pertahanan dan keamanan negara adidaya Amerika Serikat. Sebuah pesawat komersial lain milik penerbangan yang sama juga dibajak dan jatuh di negara bagian Pennsylvania. Ribuan orang menjadi korban dalam tragedi yang penuh horor dan kematian tersebut.


Bagaimana dengan Indonesia?

Perang, perebutan kekuasaan berdarah dan kekerasan pada umumnya bukanlah suatu hal yang baru di bumi Nusantara. Fenomena yang oleh Indria Samego disebut "Tradisi Suksesi Mataram"[3] tersebut berulangkali terjadi sejak jaman kerajaan-kerajaan dulu hingga sekarang. Maraknya berbagai pertikaian, kerusuhan dan teror yang terjadi di tanah air selama 4 tahun terakhir telah menjadi perdebatan di berbagai forum diskusi dan pemberitaan media massa. Berbagai tindak kekerasan yang terlalu kerap terjadi dan menelan korban ribuan nyawa melayang bahkan telah menurunkan citra Indonesia di dunia internasional dan mempengaruhi sikap dunia terhadap Indonesia.

Wilayah-wilayah yang paling banyak mendapat sorotan internasional adalah Timor Lorosae, Aceh, Papua, Maluku serta Kalimantan. Dan sejauh berhubungan dengan pertikaian antar etnis, agaknya Kalimantan menjadi perhatian utama. Orang Dayak dan Melayu yang hampir tidak pernah masuk dalam pemberitaan berbagai media massa internasional seperti CNN, TIMES, BBC, The Washington Post dan media raksasa lainnya mendadak menjadi headlines selama berbulan-bulan ketika pecah pertikaian antar etnis dengan suku Madura sepanjang tahun 1996-2001. Dan yang paling menyedihkan adalah citra etnis yang terlibat pertikaian tersebut - terutama etnis Dayak - menjadi sangat terpuruk akibat pemberitaan berbagai media tersebut yang sangat tendensius dan sensasional karena cenderung hanya mengekploitir aspek kekerasannya saja.

Selama ini, sudah puluhan diskusi, lokakarya, seminar dan talkshow yang digelar oleh berbagai macam organisasi dalam dan luar negeri yang membahas akar permasalahan dan solusi dari pertikaian antar etnis yang terjadi di Kalimantan. Pemerintah bahkan mengorganisir pertemuan di tingkat nasional dengan melibatkan semua provinsi di Kalimantan juga dalam rangka mencari penyelesaian yang terbaik. Namun agaknya semua usaha yang telah menghabiskan waktu dan biaya milyaran rupiah tersebut belum menunjukkan hasil-hasil yang menjanjikan. Masih segar dalam ingatan kita, setelah pertikaian di Sampit berhenti, kita dikejutkan oleh pertikaian lain yang hampir saja berkembang menjadi sebuah tragedi lainnya antara pengungsi Madura dan etnis Melayu di Pontianak bulan Juni yang lalu. Pertanyaannya kemudian adalah: Kapan semuanya ini akan berakhir? Apa yang salah dengan berbagai pendekatan dan solusi terhadap penyelesaian berbagai konflik yang terjadi tersebut?

Kritik saya terhadap berbagai pendapat dan analisis yang telah dilakukan selama ini menyangkut 2 hal. Pertama, ketidakmampuan para analis untuk menghindari jebakan dikotomi benar-salah, baik-jahat, kuat-lemah yang menyangkut keberadaan etnis-etnis yang bertikai. Kedua, kegagalan dalam memanfaatkan potensi yang terdapat justru pada budaya etnis yang bersangkutan dalam penyelesaian masalah melalui cara-damai.

Dalam tulisan ini, saya mengajukan sebuah pendekatan yang berfokus pada 3 jenis kekerasan yakni Kekerasan Kultural, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung yang memiliki hubungan timbal-balik dan saling mempengaruhi. Dengan meminjam teori tentang fenomena kekerasan-nya Johan Galtung, saya mencoba menganalisis pertikaian etnis yang terjadi di Kalbar serta mengajukan alternatif solusinya berdasarkan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh etnis-etnis yang bertikai. Dalam mengemukakan contoh-contoh, saya lebih banyak mengambilnya dari etnis Dayak.


Fenomenologi Kekerasan

Menurut Johan Galtung[4], kekerasan ada 3 jenis:

Kekerasan Kultural: adalah kekerasan yang melegitimasi terjadinya Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung serta menyebabkan tindakan kekerasan dianggap wajar saja terjadi (diterima) oleh sebuah masyarakat.

Kekerasan Struktural: adalah kekerasan yang berbentuk eksploitasi sistematis disertai mekanisme yang menghalangi terbentuknya kesadaran serta menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan. (Oleh karenanya, kekerasan jenis ini lebih tersembunyi dan lebih berbahaya tentu saja.) Ketidakadilan, kebijakan yang menindas, perundang-undangan yang diskriminatif adalah bentuk-bentuk Kekerasan Struktural. Kekerasan Struktural termanifestasi dalam bentuk ketimpangan kekuasaan yang menyebabkan ketimpangan hidup.

Kekerasan Langsung: adalah kekerasan yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian-kejadian atau perbuatan-perbuatan, sehingga Kekerasan jenis ini sangat mudah diidentifikasi karena merupakan manifestasi dari Kekerasan Kultural dan Struktural.

Ketiga jenis kekerasan ini saling berhubungan satu sama lain dalam hubungan sebab-akibat. Menurut Galtung, sumbernya ada pada Kekerasan Kultural (atau lebih tepat: Kultur Kekerasan) yang melegitimasi terjadinya Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung. Dengan kata lain, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung berlangsung karena ‘disahkan’ oleh Kekerasan Kultural. Gambar di bawah ini memperjelas maksud di atas.

Jika segitiga di atas kita putar 900, maka jelas terlihat bahwa Kekerasan Kultural dan Kekerasan Struktural menjadi akar dari Kekerasan Langsung (Gambar 2). Dengan kata lain, tindakan-tindakan yang kita lihat dalam bentuk penganiayaan, pembunuhan, pengrusakan dan pembumihangusan merupakan buah-buah dari kekerasan kultural dan struktural.


Karena Kekerasan Kultural merupakan sumber terjadinya jenis kekerasan lainnya, maka untuk memerangi ketidakadilan/diskriminasi dan pembunuhan, budaya harus menjadi fokus utama. Lagipula, usaha menghentikan atau menghindari tindak kekerasan membutuhkan sebuah proses tranformasi sosio-kultural dalam sebuah masyarakat. Jika Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung ‘dibiarkan’ terjadi karena adanya Kekerasan Kultural, maka untuk menghentikan terjadinya Kekerasan Langsung dan Kekerasan Struktural dibutuhkan sebuah transformasi yang menggantikan Kekerasan Kultural menjadi Perdamaian Kultural (baca: Budaya Non-Kekerasan/Damai).

Meskipun pada kedua gambar di atas jelas terlihat bahwa Kekerasan Kultural dapat langsung menyebabkan kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung, namun terlihat pula bahwa proses terjadinya kekerasan langsung dapat pula terjadi melalui proses yang lebih panjang yakni dari Kekerasan Kultural ke Kekerasan Struktural baru Kekerasan Langsung (lihat anak panah). Dalam realitanya, proses semacam ini memang lebih sering terjadi. Atau seperti yang dikatakan oleh Luderach,"Mereka yang melakukan kekerasan langsung mencoba untuk mencari penyelesaian atas ketidakadilan yang dirasakannya yaitu apa yang oleh Galtung disebut ‘kekerasan Struktural,’ yakni dengan mencoba mencapai perubahan sistematis atas struktur ekonomi, budaya, sosial dan politik yang diyakini memiliki pengaruh yang merusak kehidupan mereka."[5] Seperti yang saya tunjukkan dalam alinea-alinea berikut, fenomena kekerasan antar etnis di Kalbar memang tidak terlepas dari proses seperti ini.


Realitas Kekerasan di Kalimantan Barat

Bagaimana tindak Kekerasan berproses dan cenderung dipilih masyarakat sebagai solusi atas permasalahan yang mereka hadapi terutama di Kalbar, boleh dibilang jarang didiskusikan. Diskusi yang muncul ke permukaan mengenai kekerasan antar etnis di Kalbar lebih sering membicarakan seputar perbedaan budaya terutama ketidakmampuan etnis pendatang dalam menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan budaya lokal. Sementara komunitas internasional dibombardir dengan informasi-informasi tentang sepak terjang etnis-etnis yang terlibat pertikaian oleh berbagai media massa yang bermuara pada kesimpulan bahwa orang Dayak Kalimantan masih mengayau sampai sekarang dan korbannya adalah para pendatang dari Madura.

Ketidakmampuan etnis pendatang dalam memahami dan menerima nilai-nilai budaya dan adat istiadat etnis lokal telah di fait accompli banyak pihak sebagai faktor yang paling dominan dalam memicu kekerasan antar etnis yang terjadi di Kalbar. Akibatnya, tuntutan yang dikemukakan umumnya berupa pemisahan tempat tinggal (separation) disertai tindakan-tindakan ekstrim seperti pengusiran dengan kekerasan dan pembunuhan. Masyarakat yang telah mengadopsi Kekerasan Kultural menganggap - mungkin lebih tepat: melegitimasi---bahwa kekerasan tersebut wajar dilakukan karena hanya itulah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan kata lain, telah terbentuk sebuah Cultural Violence (Kekerasan Kultural). Kultur yang terbangun tersebut kemudian akan mempengaruhi sikap masyarakat secara umum dalam penyelesaian berbagai persoalan yang mereka hadapi melalui kekerasan belaka.

Namun sesungguhnya, jika dikaji secara kritis, perbedaan etnis dan budaya tidak memicu terjadinya sebuah konflik. Konflik biasanya sudah ada sebelum perbedaan etnis dan budaya mencuat ke permukaan. Dengan kata lain, perbedaan etnis dan budaya tinggal menjadi faktor yang mempertajam konflik.[6]

Dalam salah satu analisis yang dilakukannya terhadap berbagai konflik antar etnis di Kalbar, Nancy Lee Peluso, Ph.D[7] menggambarkan dengan sangat baik bagaimana proses tersebut berlangsung. Menurut Nancy, kekerasan yang mengemuka dalam setiap konflik yang terjadi antara Dayak dan Madura merupakan hasil dan akibat dari sebuah strategi yang dipakai oleh militer dalam penumpasan Pemberontakan PGRS/PARAKU dengan memobilisir image Pengayau orang Dayak. Image orang Dayak sebagai "Borneo Headhunter" yang dikonotasikan liar, kejam, kanibal dan haus darah ini awalnya sengaja diekploitasi untuk menimbulkan dampak psikologis terhadap musuh (baca: anggota PGRS/PARAKU beserta simpatisannya). Strategi ini sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Di Sarawak, Kolonial Inggris juga telah menggunakan taktik yang sama dengan memanfaatkan orang-orang Dayak Iban sebagai Pasukan Pengejut (Shock Troops) mereka untuk menakut-nakuti orang Melayu dan Tionghoa dalam kompetisi mereka di abad ke-18.[8]

Melalui taktik perang yang memobilisir image Pengayau tersebut, peperangan melawan para pemberontak PGRS/PARAKU tersebut memang berhasil dimenangkan. Para anggota dan simpatisan, termasuk pula yang diduga ‘simpatisan’, berhasil ditumpas dan orang Tionghua yang berada di pedalaman Kalbar diusir keluar. Tanah, kebun, rumah dan harta-benda yang ditinggalkan diambil alih oleh orang Dayak dan ancaman komunispun menjadi jauh berkurang. Daerah-daerah yang sebelumnya merupakan tempat pemukiman orang Tionghua berubah menjadi pemukiman Dayak.

Fenomena Pengayau Kalimantan ini belakangan dengan kental mewarnai (baca: dipakai sebagai taktik perang) penyelesaian konflik-konflik yang terjadi antara Dayak dan Madura. Ceritera-ceritera seputar mangkok merah, bala seribu, panglima yang bisa terbang dan menghilang, massa yang kebal segala jenis senjata serta kanibalisme tidak hanya diceriterakan dari mulut ke mulut tetapi juga diberitakan secara gamblang melalui berbagai media massa, ditulis oleh para peneliti dan analis bahkan sampai dijadikan buku yang laris seperti pisang goreng. Media massa, terutama sekali media massa luar negeri seperti CNN, The Washington Post atau BBC, bahkan cenderung menyebarluaskan dan mengajukan ‘bukti-bukti’ baru untuk meyakinkan publik internasional bahwa tradisi

Mengayau dan para Pengayau memang masih ada dan dipraktekkan di Kalimantan dengan sasaran etnis Madura sebagai korbannya. Sementara itu, di dalam negeri, image tentang orang Dayak yang liar, kejam dan primitif itu menghiasi koran-koran lokal dan media nasional.

Tidak banyak orang bahkan di kalangan intern Dayak sendiri yang mencoba menetralisir dan memberikan informasi yang berimbang tentang image Borneo Headhunter yang akhirnya mendominasi citra dan identitas orang Dayak tersebut. Mungkin hal itu disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh orang Dayak sendiri serta hambatan psikologis sebagai pihak yang menyandang label "pelaku". Di balik itu semua, menurut penulis ada satu alasan yang paling besar kemungkinannya yakni image tersebut mampu menjadi alat yang secara signifikan memfasilitasi usaha dan perjuangan orang Dayak dalam mengembalikan harkat dan martabatnya. Dengan cara berbeda, Peluso menyebutnya sebagai "menciptakan komunitas melalui kekerasan"[9] yakni dengan memakai image Pengayau yang sadis sebagai taktik perang.

Kemungkinan di ataspun bukannya tidak beralasan. Melihat sejarah panjang eksistensi orang Dayak selama ini serta ketidakadilan yang mereka rasakan terutama yang menyangkut hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya mereka, tidak terlalu sulit untuk memahami tindakan tersebut. Meskipun secara umum ketidakadilan yang sama juga dirasakan oleh komunitas lain di seluruh Nusantara, namun sebagai masyarakat adat yang telah mendiami Kalimantan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri serta menikmati kebebasan dalam mengelola kehidupan mereka secara mandiri, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dari rejim ke rejim tidak berhasil menangkap aspirasi dan keinginan orang Dayak sebagai masyarakat adat Kalimantan. Dengan cara yang sama sesungguhnya kita dapat memahami konflik yang terjadi di Aceh dan Papua. Dalam konteks inilah kita dapat memahami bagaimana Kekerasan (Langsung) terjadi sebagai respons atas kekerasan struktural (ketidakadilan) yang dirasakan.

Banyak orang Dayak misalnya, merasa bahwa perlakuan pemerintah kolonial dulu tidak lebih jelek dibandingkan dengan pemerintah Republik. Kebebasan dalam mengelola sumber daya alam dan menjalankan budaya mereka adalah beberapa contoh yang sering dikemukakan.

Ketika kepentingan orang Dayak mengalami benturan dengan pihak lain, hukum adat, negosiasi dan perjuangan secara damai diusahakan untuk ditempuh kalau tidak diterima saja dengan sikap yang fatalistik. Manakala usaha-usaha damai tersebut tidak berhasil atau memperoleh respon yang diharapkan, perjuangan kemudian dilakukan melalui tindakan kekerasan, terutama yang menyangkut persoalan-persoalan yang paling pokok seperti akses terhadap tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya yang menjadi bagian terpenting bagi eksistensi orang Dayak. Celakanya, ketika orang Dayak melakukan kekerasan, tuntutan mereka lebih sering tercapai dibandingkan jika melalui cara-cara damai dan negosiasi.[10]

Kondisi ini kemudian mendorong orang Dayak untuk semakin memilih kekerasan sebagai sarana dalam mengatasi setiap persoalan yang mereka hadapi. Dengan demikian, kekerasan Kultural seperti yang kita lihat semakin bereskalasi belakangan ini disertai dengan simbol-simbol yang melekat pada imaga Pengayau Kalimantan merupakan manisfestasi dari perasaan frustasi yang teramat sangat yang gagal dipahami oleh rejim yang sedang berkuasa atau telah mendapat respon yang salah.[11]


Apakah Orang Dayak Mengayau dalam Kerusuhan Antar Etnis ?

Pertanyaan ini umumnya telah ‘dijawab’ oleh beberapa media massa internasional yang dominan seperti yang disebutkan di atas. Bahwa berdasarkan ‘fakta-fakta’ dan ‘realitas’ tindak kekerasan yang terjadi, hanya ada satu kesimpulan yang dapat ditarik yakni: orang Dayak sebagai "the former headhunters of Borneo" masih dan ‘terbukti’ mengayau.[12]

Kesimpulan yang dihasilkan oleh para jurnalis dunia yang ‘gagah berani’ dalam ‘mempertaruhkan nyawanya’ di berbagai medan konflik kekerasan tersebut, toh perlu dipertanyakan dan dikritisi terutama oleh orang Dayak sendiri. Institut Dayakologi (dulu: IDRD) pernah mengeluarkan sebuah tulisan yang menjelaskan latar belakang kekerasan yang dilakukan oleh orang Dayak dari perspektif budaya orang Dayak sendiri.[13]

Penjelasan tersebut mencoba menganalisa tindak kekerasan yang terjadi bukan dari perspektif pelanggaran HAM melainkan dari perspektif mereka yang paling tidak mengklaim dirinya terlibat langsung dalam berbagai kekerasan yang terjadi. Penjelasan ini sulit bisa diterima oleh orang kebanyakan bahkan oleh kebanyakan yang mengklaim dirinya sebagai pengamat, intelektual, advokat HAM, atau aktivis NGOs karena memang ada gap yang menganga lebar antara persepsi masyarakat di tingkat grassroot dengan kebanyakan ‘ahli’ tersebut.[14]

Kalau mau jujur, tradisi Mengayau sesungguhnya tidak banyak dipahami dan diketahui secara pasti bahkan dikalangan generasi muda Dayak sendiri. Hal ini bisa dipahami mengingat tradisi ini sesungguhnya sudah ditinggalkan sejak permulaan Abad ke 20 dan telah berhenti pada masa pertengahan abad yang lalu. Pada saat sekarang ini, mungkin sudah tidak ada lagi Pengayau yang masih hidup, jikapun ada pastilah sangat langka dan usianyapun sudah sangat uzur. Budaya Dayak yang tidak mengenal tulisan tidak memungkinkan generasi sekarang dengan leluasa belajar dan memahami dengan baik tradisi-tradisi di masa lalu yang sudah punah. Apalagi usaha-usaha pendokumentasian tradisi-tradisi tersebut sangat minim.[15] Memang terdapat cukup banyak buku-buku hasil penelitian dan pengamatan para peneliti asing tentang tradisi Mengayau di masa lampau, namun tidak banyak orang yang memiliki akses terhadap informasi tersebut yang memang sulit didapat, mahal dan kebanyakan dalam bahasa asing. Lagipula, biar bagaimanapun, informasi-informasi tersebut kebanyakan ditulis oleh orang asing yang memiliki persepsi, latar belakang budaya dan motivasi yang berbeda. Sehingga berbagai kesalahan "persepsi dan penafsiran" sangat mungkin terjadi. Kenyataan ini sekaligus membantah tuduhan berbagai pers asing yang selalu memberitakan bahwa yang terjadi selama kerusuhan antar etnis di Kalimantan adalah bangkitnya tadisi Mengayau orang Dayak.[16]

Demikianlah pertanyaan-pertanyaan berikut ini tetap masih relevan untuk diajukan. Berapa banyakkah orang yang tahu bahwa tidak semua subsuku Dayak memiliki tradisi Mengayau? Berapa banyakkah orang yang paham bahwa ada subsuku Dayak yang terpaksa ‘mengayau’ untuk membela diri? Bahwa dengan demikian ada ‘mengayau’ yang reaktif saja sifatnya? Bahkan ketika banyak pengamat, analis, penulis, peneliti dan tokoh-tokoh mengutip tentang Pertemuan Tumbang Anoi tahun 1894 di Kalimantan Tengah, hampir semuanya tidak pernah melihat satu dokumen-pun yang dihasilkan langsung oleh pertemuan tersebut karena selain kecil kemungkinannya ada tersimpan di arsip-arsip di Indonesia, juga tentu dokumen aslinya dalam bahasa Belanda.[17]

Tulisan ini tentu saja tidak mungkin mampu mengakomodir diskusi menyeluruh tentang tradisi mengayau. Namun, sejauh berhubungan dengan jawaban atas pertanyaan apakah tradisi mengayau itu masih ada atau tidak dan apakah kekerasan yang dilakukan oleh orang Dayak dalam berbagai konflik etnis yang terjadi itu merupakan praktek Mengayau atau bukan, kiranya layak kita singgung dalam kesempatan ini.

Pertama, rakyat ditingkat grassroot yang terlibat langsung dalam kekerasan[18] yang terjadi menganggap apa yang mereka lakukan adalah sebuah perang, bukan pertikaian, kerusuhan atau kekerasan etnis, apalagi Mengayau. Perbedaan persepsi ini sangat mendasar karena mempengaruhi cara kita memandang dan menilai dampak kekerasan yang terjadi. Mengayau berbeda dengan perang dan yang lebih penting lagi mengayau bukanlah perang. Dalam hal ini, membedakan antara tindakan memotong kepala lawan dalam tradisi mengayau dan sebagai sebuah tindakan kekerasan dalam suatu konflik sangat penting untuk membantu kita membedakan antara Perang dan Mengayau.

Memotong kepala lawan dalam Mengayau dilakukan karena sasarannya adalah mendapatkan kepala, karena itulah disebut oleh orang asing sebagai "berburu kepala".[19] Jadi kepala adalah tujuan dalam Mengayau, karena itu kepala yang diperoleh menjadi elemen utama dalam berbagai ritual yang mengikuti sebuah tradisi Mengayau. Treatment terhadap kepala/tengkorak tersebut karenanya bisa sangat rumit dan berlangsung beberapa generasi.[20] Memotong kepala korban dalam tradisi Mengayau, karenanya harus dipahami bukan sebagai expresi seorang psikopat yang haus darah warga sebuah komunitas yang primitif dan terbelakang, melainkan sebagai sebuah produk kebudayaan umat manusia dalam perjuangannya untuk memahami dan memberi makna kehidupan yang dijalaninya pada masa, kondisi dan tempat tertentu dalam sejarah umat manusia.[21] Memahami mengayau hanya dari aspek memotong kepala-nya saja tidak akan pernah mampu menolong kita memahami motivasi dibalik tindakan tersebut, oleh karenanya cenderung membawa kita pada kesimpulan sederhana bahwa setiap kegiatan memotong kepala orang adalah kegiatan Mengayau. Betapa menyesatkan-nya kesimpulan yang kita buat.[22]

Sebaliknya dalam Perang atau kekerasan massal, jikapun ada kepala musuh yang dipotong, tapi kepala bukanlah sasaran yang ingin dicapai. Karena itu, kepala tidak diperlakukan secara khusus dan tidak ada ritual yang diadakan, selain ekspresi histeria massa seperti mengarak kepala yang telah dipenggal keliling kota, atau ditancapkan di atas sebatang kayu di tepi jalan atau di atas drum. Namun setelah itu, kepala dikuburkan; tidak diperlakukan dengan khusus selama beberapa generasi.

Memang tidak semua kepala yang diperoleh dalam Mengayau selalu dipelihara dengan ritual-ritual khusus selama beberapa generasi. Dalam kegiatan Mengayau dalam rangka kematian seorang bangsawan atau pendirian bangunan besar seperti rumah panjang misalnya, kepala dikubur bersama bangsawan yang meninggal atau ditanam di tiang utama bangunan.[23] Namun, toh kepala tetap menjadi bagian yang terpenting.

Sebaliknya, meskipun ada ‘mengayau’ yang dilakukan dalam kelompok yang lebih besar hingga mencapai ratusan, namun ‘mengayau’ jenis ini tetap dalam konteks perang dalam rangka invasi daerah baru.[24] Jadi "daerah baru" yang menjadi tujuan, bukan "kepala" meskipun kegiatan memotong kepala bisa juga terjadi. Lawan yang menyerah ditawan untuk dijadikan budak. Orang Dayak Jalai di Kabupaten Ketapang yang sering menjadi target pengayauan Dayak Delang dari Kalimantan tengah pada jaman dahulu kala menyebut pengayauan jenis ini sebagai Ansang. Ansang melibatkan ratusan anggota penyerang yang menjarah, merampok dan merampas harta benda daerah yang diserang. Kayau terdiri dari kelompok kecil sekitar 7 orang dan bertujuan mencari kepala.

Dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa apa yang terjadi selama pertikaian antar etnis di Kalbar bukan kegiatan Mengayau dalam pengertian Kayau versi Dayak Jalai di atas, melainkan lebih mirip sebagai Ansang dalam perspektif yang berbeda.


Realitas Budaya Non-Kekerasan di Kalimantan Barat

Gencarnya pemberitaan berbagai media massa baik nasional maupun internasional tentang tindak kekerasan yang terjadi dalam beberapa pertikaian antar etnis di Kalbar telah membangkitkan kembali image tentang Dayak semata-mata sebagai etnis yang identik dengan kekerasan. Peranan media massa tersebut didukung pula oleh laporan yang dibuat oleh berbagai kelompok pemerhati HAM dan pegiat Ornop baik dalam maupun luar negeri yang juga juga tetap didominasi oleh pegungkapan fakta kekerasan dan korban yang ditimbulkan daripada mengkaji permasalahan yang terjadi secara komprehensif. Seperti yang disebutkan di atas, kebijakan pemerintah-pun cenderung membangkitkan dan mempertahankan image tentang kekerasan yang melekat pada orang Dayak untuk kepentingan politis sementara tidak ada usaha-usaha yang signifikan dari kalangan Dayak sendiri untuk menetralisir image tersebut.

Namun sesungguhnya, budaya kekerasan yang melekat pada tradisi Mengayau di masa lampau hanya merupakan satu bagian kecil dari budaya Dayak, itupun sudah ditinggalkan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Di samping itu, tradisi mengayau sekali lagi tidak dipraktekkan oleh semua subsuku Dayak yang ada. Dengan demikian, sangatlah tidak tepat untuk mengidentiikan orang Dayak dengan Kekerasan/Mengayau.

Pada bagian ini, saya mencoba mengemukakan beberapa aspek budaya Dayak yang justru menekankan pentingnya cara-cara damai dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.


1. Falsafah persahabatan

Sikap orang Dayak terhadap pihak yang memiliki potensi mengganggu dan menimbulkan ancaman seperti roh-roh jahat, para hantu dan setan adalah menjaga keseimbangan dan keselarasan. Falsafah ini sering disalahartikan oleh kaum agamais sebagai sikap "menyembah/memuja setan/berhala". Tindakan orang Dayak yang memberikan berbagai persembahan kepada penghuni alam dalam berbagai ritual yang mereka adakan merupakan manisfestasi dari falsafah persahabatan dimaksud. Terhadap penghuni alam yang bersahabat, persembahan tersebut sebagai wujud kebersamaan, sedangkan kepada mahluk yang berpotensi mengganggu, persembahan tersebut sebagai wujud perdamaian.

Orang Dayak percaya jika seluruh penghuni alam diperlakukan secara adil dan proporsional, maka harmoni akan tercipta dan umat manusia dapat hidup dengan aman dan damai. Sikap terhadap tamu juga dapat dipandang sebagai pengejawantahan falsafah ini. Dalam semua subsuku Dayak - tamu - tanpa membedakan latar belakangnya selalu diperlakukan secara istimewa dan dengan cara terbaik. Pepatah yang terkenal di kalangan komunitas Dayak Ketapang yang menyatakan "Temuai umbai makan, Menyagaq dumani baras" yang artinya "Sesama orang Dayak diajak makan, saudara yang non-Dayak diberi beras" merefleksikan sikap bersahabat terhadap semua orang secara proporsional.


2. Nyawa tidak bisa diganti dengan nyawa

Prinsip inipun seringkali disalahtafsirkan dengan makna kebalikannya. Hukum adat Pati Nyawa[25] yang dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan harus dipahami sebagai perwujudan penghargaan orang Dayak terhadap nyawa seseorang yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Simbol-simbol berupa denda adat yang menggantikan semua organ tubuh manusia, menunjukkan betapa nyawa manusia tidak tergantikan bahkan dengan nyawa si pembunuh sekalipun. Denda adat yang merepresentasikan semua organ tubuh yang penting bukan dituntut sebagai pengganti organ-organ tersebut secara harafiah melainkan untuk mengingatkan si pelaku betapa setiap organ tubuh manusia sangat berharga. Oleh sebab itu, tudingan berbagai kalangan bahwa dalam budaya Dayak dikenal prinsip "nyawa ganti nyawa" adalah tidak berdasar.


3. Tidak dikenalnya hukuman mati

Hukum adat Dayak tidak mengenal hukuman mati seberapa beratpun pelanggaran yang dilakukan. Hukuman tertinggi adalah dalam bentuk pengucilan oleh warga komunitas yang merupakan bentuk pengajaran yang terberat. Dalam hukum adat subsuku Dayak Bukit misalnya, dikenal hukum pulo yang merupakan hukum adat tertinggi dimana si terhukum tidak diusir dari kampung melainkan hak-hak asasinya dicabut sehingga statusnya tidak berbeda dengan seekor binatang. Orang yang terkena hukum adat pulo boleh diperlakukan seperti apa saja tanpa takut menaggung konsekwensi hukum. Jika si terhukum mengalami musibah termasuk sakit atau kematian, maka seluruh warga komunitas dilarang untuk memberikan pertolongan. Hukuman Pulo baru akan dicabut jika si terhukum telah mengakui dan menyesali dan bersedia menanggung semua hukuman adat yang telah dikenakan kepadanya sebelumnya. Hukum adat Pulo adalah hukum adat terakhir yang jarang dijatuhkan kepada seseorang karena konsekwensinya yang sangat berat.


4. Fleksibilitas

Berbeda dengan persepsi kebanyakan orang yang menilai masyarakat adat sebagai masyarakat yang statis dan kaku, orang Dayak justru sangat fleksibel dalam menjalankan adat istiadat dan budayanya. Fleksibilitas tersebut terlihat dengan jelas dalam kerelaan mereka untuk mentransformasikan unsur-unsur budaya Dayak ke dalam bentuk-bentuk yang lebih cocok dengan konteks dan situasi ketika budaya tersebut dijalankan. Contoh yang paling kongkrit adalah dalam tradisi pemotongan kepala manusia atau pengorbanan budak sebagai prasyarat beberapa ritual pada beberapa subsuku Dayak. Tradisi tersebut kini telah ditinggalkan sepenuhnya dan digantikan dengan simbol lain seperti kerbau, babi atau daun sabang. Tradisi perbudakan yang pernah berlaku pada beberapa subsuku Dayak-pun sekarang sudah lama ditinggalkan. Dengan pemahaman yang sama kita dapat memandang sikap orang Dayak terhadap agama-gama baru, sistem pertanian, perawatan kesehatan dan hal-hal lain yang "asing" dan datang dari luar. Fleksibilitas ini merupakan modal yang sangat berharga dalam membangun sebuah proses awal rekonsiliasi yang diinginkan.

5. Sistem demokratis

Nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan orang Dayak sudah cukup banyak yang dikemukakan berbagai pihak. Ketika demokrasi dipercaya sebagai salah satu prasyarat utama bagi terciptanya budaya non-kekerasan, maka nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam sistem sosial orang Dayak kiranya dapat menjadi potensi dan kontribusi bagi usaha perwujudan budaya perdamaian yang diinginkan.


Orang Dayak Menghindari Kekerasan : Mungkinkah ?

Gambar 1 dan Gambar 2 di atas menjelaskan bahwa akar terjadinya kekerasan struktural yang tidak begitu tampak dipermukaan dan kekerasan langsung adalah budaya kekerasan. Dengan demikian adalah logis jika usaha-usaha menghentikan atau menghindari terjadinya kekerasan struktural dan langsung juga harus dimulai dengan menciptakan budaya perdamaian (Peace Culture). Bagaimana itu mungkin dilaksanakan oleh sebuah komunitas yang telah terkondisi untuk melegitimasi kekerasan sebagai pemecahan masalah yang dihadapinya?

Pernyataan Archibald MacLeish[26] yang dikutip oleh UNESCO dalam pembukaan Anggaran Dasarnya perlu dipertimbangkan. Ditengah-tengah situasi banyak negara di dunia porak-poranda oleh Perang Dunia II dan sebagian besar umat manusia sedang dicekam oleh situasi yang sangat traumatis, UNESCO menyebutkan dalam pembukaan AD-nya bahwa,"karena peperangan bermula dalam pikiran manusia, maka melalui pikiran manusia pula-lah perjuangan menegakkan perdamaian harus dibangun."[27] Pernyataan ini agaknya memang harus mendasari setiap usaha penciptaan perdamaian (peace building) yang tidak mungkin terwujud tanpa adanya niat baik (goodwill) dari mereka yang terlibat pertikaian.[28] Sayangnya, justru niat baik itu yang paling sulit untuk ditumbuhkan di antara mereka yang terlibat dalam kekerasan langsung tersebut, karena proses penyembuhan yang tidak pernah berlangsung tuntas.

Karena itu, menghindari kekerasan sebagai jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi masyarakat harus melalui suatu proses transformasi sosio-kultural yang mampu melahirkan sebuah proses menuju the Culture of Peace. Hal tersebut merupakan sebuah proses panjang yang melibatkan banyak pemain (stakeholders) dan bukan hanya merupakan urusan satu pihak semata.

Dalam banyak kasus penciptaan perdamaian di daerah-daerah yang terlibat konflik seperti Afrika Selatan, Bosnia, Rwanda maupun Irlandia Utara, terbukti bahwa rekonsiliasi dan perdamaian hanya mungkin tercipta bilamana semua stakeholders mulai dari penguasa, aparat keamanan, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan dan organisasi non-pemerintah dan masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap proses yang berlangsung[29].

Figure 1 di atas merefleksikan efektivitas inisiatif rekonsiliasi yang dilakukan di masing-masing tingkat[30] di mana masing-masing stakeholders melakukan berbagai inisiatif rekonsiliasi secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan gap antar stakeholders.

Saya berpendapat, menciptakan budaya perdamaian dalam masyarakat Dayak adalah sangat mungkin mengingat beberapa faktor yang terkandung dalam budaya Dayak yang telah saya sebutkan di atas. Selain itu, budaya perdamaian semakin memungkinkan untuk diciptakan karena dalam masyarakat Kalbar telah tersedia prasyarat-prasyarat yang mendukung proses tersebut. Pertemuan Tumbang Anoi juga memberikan pelajaran kepada kita bahwasanya sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, orang Dayak sudah menunjukkan kemampuan mereka untuk melakukan rekonsiliasi dan menyelesaikan konflik secara damai. Dari 233 kasus yang menjadi perkara saat itu, 65% (152 kasus) berhasil diselesaikan secara damai. Sisanya sebanyak 81 kasus atau sekitar 35% bukannya tidak mampu diselesaikan karena tidak tercapai kata sepakat, melainkan karena sudah kadaluarsa (24 perkara) atau tidak layak diperkarakan karena kurang bukti (57 perkara).[31]

Dimasa sekarang inipun, ditengah-tengah terjadinya berbagai kekerasan dan degradasi nilai-nilai budaya Dayak, proses rekonsiliasi dan menciptakan budaya damai sangat mungkin dilakukan jika ada niat baik dan keseriusan semua pihak. Selain itu, faktor-faktor berikut ini dapat menjadi faktor pendukung yang sangat penting dalam proses-proses yang ingin dibangun.

1. Adanya budaya musyawarah-mufakat yang dikenal di semua etnis yang ada di Kalbar

2. Tersedianya berbagai institusi sosial sebagai wahana penyelesaian konflik baik yang berbasis pada adat istiadat, agama maupun lembaga non-pemerintah

3. Adanya semangat untuk menghormati dan mengakui kedaulatan hukum (baca: adat istiadat) yang berlaku pada daerah dimana sebuah konflik bermula

4. Kuatnya kehidupan beragama masyakarat Kalbar yang menjadi potensi untuk mendorong penyelesaian konflik secara damai

5. Kuatnya semangat untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan dan swadaya


Beberapa Usulan

Proses terciptanya budaya perdamaian memerlukan niat baik, keterlibatan dan keseriusan semua pihak, terutama mereka yang terlibat langsung dalam kekerasan yang terjadi. Proses tersebut merupakan perjalanan panjang yang harus dilakukan dengan sabar. Rekonsiliasi tidak mungkin terjadi bilamana trauma dan luka akibat kekerasan yang terjadi masih menganga lebar. Rekonsiliasi-pun tidak mungkin didorong jika berbagai ketidakadilan masih terjadi. Untuk itu, proses rekonsiliasi pertama-tama harus dimulai dengan proses penyembuhan (healing) dari luka-luka dan trauma yang ditinggalkan. Karena itulah, prasyarat utama bagi terjadinya rekonsiliasi adalah adanya niat (goodwill) semua pihak, terutama mereka yang terlibat secara langsung dalam pertikaian. Rekonsiliasi tidak mungkin terjadi secara alamiah dan instan.

Di luar yang telah banyak dikemukakan oleh berbagai pihak selama ini, Rekonsiliasi dan penciptaan perdamaian di Kalbar dalam hemat saya harus melibatkan dan tidak terbatas pada usaha-usaha di bawah ini:

1. Recovery Program. Dengan berbagai pihak yang memiliki solidaritas, pemerintah harus segera menuntaskan program recovery dan rehabilitasi atas para korban kekerasan antar etnis yang terjadi. Dalam hal ini, pemerintah harus membuka diri terhadap berbagai kelompok atau lembaga baik dalam maupun luar negeri, lembaga pemerintah maupun non-pemerintah untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang masih terkatung-katung. Salah satu di antaranya adalah masalah pengungsi. Permasalahan yang menyangkut para pengungsi Sambas yang masih puluhan ribu jumlahnya, jika tidak segera diselesaikan bukan saja melanggar Sila ke-2 dan ke-5 Pancasila, melainkan juga menghambar proses rekonsiliasi yang ingin dibangun karena "kontak [sosial] yang terjadi dalam kondisi yang tidak diinginkan akan membangkitkan ketegangan-ketegangan sebelumnya serta memperkuat stereotipe."[32]

2. Hukum Adat. Pemberlakuan dan pemberdayaan terhadap Hukum Adat dan institusi adat lokal yang merupakan pilar utama bagi penyelesaian konflik secara damai. Hal ini tentu saja harus dimulai dengan pengakuan akan keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia. Penolakan terhadap pemberlakuan Hukum Adat dan Institusi Adat merupakan bentuk lain dari promosi dan dukungan terhadap penciptaan kekerasaan di tengah-tengah masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi, karena ketika masyarakat menemukan bahwa cara-cara penyelesaian konflik secara damai yang mereka kenal selama ini (melalui hukum adat) tidak efektif dan tidak mendapat respon semestinya, maka mereka beralih ke cara-cara kekerasan seperti yang kita saksikan selama ini. Peran dan posisi Hukum dan Institusi Adat yang legitimate harus masuk dalam berbagai Perda yang sekarang sedang giat dilakukan oleh Pemda-Pemda dan DPRD tingkat Kabupaten dalam rangka Otonomi Daerah.

Hak-Hak Masyarakat Adat. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam yang berada dalam wilayah adatnya. Perlakuan diskriminatif terhadap para investor yang mendapat berbagai preferensi dan fasilitas dari pemerintah untuk mengelola sumber daya alam yang telah dikuasai sebelumnya oleh masayarakat adat telah dan akan terus memicu terjadinya kekerasan yang berasal dari perebutan atas sumber daya alam.[33] Pemerintah harus segera mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia yang tidak sama dengan masyarakat mainstream lainnya. Sikap tersebut harus ditunjukkan secara tegas misalnya dengan segera meratifikasi berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat terutama Konvensi ILO no. 169.

3. Pendidikan Formal. "Ancaman yang muncul berupa etnosentrisme yang merugikan dan menjadi landasan kebencian, kekerasan dan pembunuhan massal harus menjadi salah satu tantangan terbesar dunia pendidikan di abad mendatang..." Demikian David Hamburg[34] memberikan penekanan tentang besarnya peran pendidikan dalam penciptaan perdamaian. Pendidikan memang merupakan sarana yang vital bagi karena beberapa alasan. Pertama, kekerasan seperti yang dikutip oleh UNESCO "berawal dari pikiran manusia"; dan kedua, penelitian menunjukkan bahwa kekerasan merupakan sifat yang diturunkan.[35] Jadi budaya perdamaian juga merupakan sesuatu yang harus dan dapat dipelajari sama dengan pendidikan moral, etika dsb. Mengubah paradigma pendidikan yang selama ini dirancang secara sentralistik dan monolitik dan mengabaikan keanekaragaman etnis, budaya, dan adat istiadat yang ada merupakan langkah awal yang harus dilakukan di Indonesia. Pendidikan secara khusus harus menjadi salah satu aktor kunci penciptaan budaya perdamaian dengan menumbuhkan solidaritas sosial (prosocial behaviour), penghargaan atas keaneragaman bangsa dan perlindungan terhadap HAM.

Pendidikan harus dirancang agar menghasilkan lulusan yang mampu memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada serta menjadikan Indonesia sebuah negara multi etnik, multi kultur dan multi agama yang mampu hidup berdampingan secara damai di masa depan. Mengingat peranan agama yang begitu besar dalam kehidupan rakyat Indonesia, Bidang Studi Agama yang diajaran di sekolah seharusnya diarahkan agar peserta didik membangun sikap toleransi terhadap agama lain, karenanya proses pengajaran bidang studi Agama harus diikuti oleh semua anak didik dari latar belakang agama yang berbeda secara bersama-sama. Pelajaran Agama yang diajarkan secara ekslusif di sekolah-sekolah swasta harus diganti dengan Bidang Studi tentang Toleransi Beragama.

4. Lembaga Keagamaan. Institusi yang berbasis pada agama hendaknya dijadikan sarana untuk mendorong terciptanya budaya perdamaian dalam masyarakat. Para pemimpin agama harus menjadikan isu rekonsiliasi sebagai prioritas pembinaan iman umatnya yang mewarnai dakwah-dakwah, kotbah-kotbah dan diskusi-diskusi keagamaan lainnya.

5. Transmigrasi. Menghentikan program transmigrasi dan program-program sejenis yang mendorong terjadinya ‘pembauran’ antar etnis yang direkayasa. Transmigrasi yang dilakukan tanpa persetujuan penduduk lokal adalah pengkhianatan, pengingkaran dan pemaksaan yang dilakukan terhadap eksistensi penduduk setempat dengan berbagai konsekwensi negatif yang ditimbulkannya akibat ketidaksiapan penduduk lokal untuk berinteraksi dengan penduduk pendatang.


Daftar Bacaan

Andasputra, Nico., John Bamba & Edi Petebang (Eds),"Pelajaran Dari Masyarakat Dayak: Gerakan Sosial dan Resiliansi Ekologis di Kalimantan Barat" Pontianak: WWF-Biodiversity Support Program (BSP) &Institut Dayakologi, 2001.

Assefa, Hizkias,1999, "The Meaning of Reconciliation," dalam People Building Peace: 35 Inspiring Stories from Around the World, The Netherlands: European Center for Conflict Prevention in cooperatin with IFOR & the Coexistence Initiative of State of the World Forum., hal. 37-45.

Aten, Drs. Herkulanus,"Hukum Adat dan Adat Istiadat Kematian Dayak Kanayatn" dalam Nico Andasputra &Vincentius Julipin (Eds.)., Mencermati Dayak Kanayatn, Pontianak: Institute of Dayakology Research & Development, 1997.

BR, Muchus,."Pemilihan Presiden Langsung Cara Keluar Dari Tradisi Mataram" Detik.com, 15 Septembeer 2001: 23:43 WIB

Cleary, Mark & Peter Eaton, 1992, "Borneo: Change and Development," Singapore: Oxford University Press.

Ressa, Maria,." Kalimantan, Indonesia's Savage Nightmare" CNN, Internet Version, 2 Maret 2001

Paddock, Richard C., "Warriors Rampage Freely in Borneo" Los Angeles Times, Internet Version, February 27, 2001

Chandrasekaran, Rajiv,." Dayaks Loot and Burn City As Borneo Violence Spreads" Washington Post Foreign Service, Tuesday, February 27, 2001; Page A16, Internet Version

Dixon, Thomas F. Homer-, 1991 "On the Threshold: Environmental Changes as Causes of Acute Conflict" Peace and Conflict Studies Program, University of Toronto, International Security, Vol. 16, No. 2 (Fall 1991)

1994 "Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases" Peace and Conflict Studies Program, University of Toronto, International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer 1994)

Hermawan Sulistyo, 2000, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan (1965-1966)", Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Human Rights Watch/Asia, 1997, "Indonesia Communal Violence in West Kalimantan", Vol. 9, No. 10 ©, December 1997.

IDRD,"The Role of Adat in Dayak-Madurese War", Pontianak: IDRD, 1998.

Arifin, Karina, 1999, "Penelitian Etnoarkeologi Terhadap Praktek Penguburan Kedua dan Tipe Monumennya di Kayan Mentarang," dalam Eghenter Cristina & Bernard Sellato (Penyunting),"Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan," Jakarta: WWF Indonesia, hal. 435-464.

Kusni, JJ., 1994 "Satu Abad Pertemuan Tumbang Anoi & Pelajaran Yang Diwariskannya," dalam JJ. Kusni, Dayak Membangun, The Paragon’s, pp. 30-38.

Lederach, John Paul, 1999, "The Challenge of the 21st Century: Justpeace," dalam People Building Peace: 35 Inspiring Stories from Around the World, The Netherlands: European Center for Conflict Prevention in cooperatin with IFOR & the Coexistence Initiative of State of the World Forum, hal. 27-36.

Salla, Michael E.,"Conflict Resolution, Genetics, and Alchemy - The Evolution of Conflict Transmutation," http://trinstitute.org/ojpcr/3_3salla.htm 8/20/2001 6:25:09 PM

Satha-Anand, Chaiwat, 1992, "Towards a Peace Culture in Asia," dalam UNESCO Studies on Peace and Conflict:: Peace and Conflict Issues After the Cold War, Paris: UNESCO.

Samsu Rizal Panggabean, 1999, "Negara dan Kekerasan Subnasional," makalah dalam seminar,"Peran negara dalam Resolusi Konflik: Transformasi menuju Indonesia Baru," diadakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM dan The British Council di UGM, Kamis, 18 November .

Tongeren, Paul van, 1999, "Inspiring Stories of Peace Building" dalam People Building Peace: 35 Inspiring Stories from Around the World, The Netherlands: European Center for Conflict Prevention in cooperatin with IFOR & the Coexistence Initiative of State of the World Forum, hal. 13-16.
________________________________________
[1] "...the most violent of all ages in history, unprecedented in the scale and intensity of killing and destruction." Paul van Tongeren,"Inspiring Stories of Peace Building" dalam People Building Peace, The Netherlands: European Center for Conflict Prevention, 1999: 13.

[2] Chaiwat Satha-Anand,"Towards a Peace Culture in Asia," dalam UNESCO Studies on Peace and Conflict:: Peace and Conflict Issues After the Cold War, Paris: UNESCO, 1992: 135.

[3] Muchus BR,"Pemilihan Presiden Langsung Cara Keluar Dari Tradisi Mataram" Detik.com, 15 Septembeer 2001: 23:43 WIB

[4]Chaiwat, ibid.

[5]"People who take up direct violence are trying to address the perceived injustice or what Galtung called ‘structural violence,’ that is, they are trying to achieve systematic changes in the underlying economic, cultural, social and political structures as those are perceived t detrimentally affect their lives." John Paul Luderach, "Justpeace,"dalam People Building Peace ibid, hal. 31.

[6] Michael Banton,"Ethnic and Racial Consciousness," 2nd Edition, London & New York: Longman, 1997, p. 1

[7] Penulis berterima kasih kepada Nancy L. Peluso, PhD yang mengijinkan penulis untuk membagi pokok-pokok pikiiran dari hasil analis-nya tersebut kepada para peserta seminar hari ini. Kutipan langsung dari tulisan Nancy tersebut tidak bisa saya berikan mengingat tulisan tersebut belum dapat dikutif.

[8] Cleary & Eaton, 1992: 52 53, 57

[9] "creating community through violence .’ Saya tidak setuju dengan Peluso karena menurut pendapat saya penggunaan istilah "creating community" terlalu general dan bisa menimbulkan misinterpretasi serta menyumbang terhadap penciptaan image orang Dayak sebagai Borneo Headhunter yang dikritisi oleh Peluso sendiri dalam tulisannya. Banyak komunitas Dayak yang tidak mengenal tradisi Mengayau dan tidak pernah terlibat dalam berbagai pertikaian dengan orang Madura selama ini.

[10] Beberapa contoh kasus dari hasil berbagai usaha memperjuangkan hak atas pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat Dayak ini dapat di lihat di: Nico Andasputra, John Bamba & Edi Petebang (Eds),"Pelajaran Dari Masyarakat Dayak: Gerakan Sosial dan Resiliansi Ekologis di Kalimantan Barat" Pontianak: WWF-Biodiversity Support Program (BSP) &Institut Dayakologi, 2001, hal. 193-196.

[11] Adalah menarik untuk mengamati bagaimana respons negara terhadap berbagai letupan kekecawaan atas berbagai ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Samsu Rizal Panggabean dari Pusat Studi Keamanan & Perdamaian UGM mengemukakan 4 pendekatan yang dianut oleh negara selama ini dalam menanggapi apa yang ia sebut sebagai "konflik subnasional" yakni melalui pendekatan-pendekatan yang memandang bahwa (1) Konflik itu Destruktif : karena merupakan ancaman terhadap stabilitas nasional sehingga harus dihindari, akibatnya rakyat tidak memiliki pengalaman untuk mengelola konflik; (2) Konflik adalah Perilaku: yang identik dengan kekerasan seperti penikaman, duel, baku hantam, perang atau kerusuhan. Jika belum mewujud dalam bentuk kekerasan langsung, berbagai gelagat, indikator dan ketidakselarasan dipandang remeh; (3) Konflik adalah Agresi: yang harus ditangani dengan represi, sehingga demonstrasi mahasiswa, petani atau buruh harus dihadapi dengan pengiriman tentara sebab mereka dianggap "pengacau keamanan", "organisasi tanpa bentuk", "anasir-anasir disintegrasi" atau yang paling populer sekarang "provokator"; (4) Perspektif Hidrolik: warganegara dianggap sebagai wadah keresahan, saluran ketegangan dan frustasi, atau ketel amuk dan kebringasan yang mudah dikipasi, dipengaruhi, dihasut atau dibakar emosinya. Karenanya, masyarakat diminta untuk "pandai-pandai menahan diri, tidak mudah terpancing isu-isu negatif, jangan gampang terbawa emosi dan jangan mau dipengaruhi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang ingin merusak stabilitas." (Garis bawah oleh penulis) Lihat: Samsu Rizal Panggabean,"Negara dan Kekerasan Subnasional," disampaikian dalam seminar,"Peran negara dalam Resolusi Konflik: Transformasi menuju Indonesia Baru," diadakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM dan The British Council di UGM, Kamis, 18 November 1999.

[12] Beberapa contoh: CNN, 2 Maret 2001, Times, The Washington Post, Reuters 27 Februari 2001.

[13] IDRD,"The Role of Adat in Dayak-Madurese War", Pontianak: IDRD, 1998.

[14] Lihat misalnya tanggapan Human Rights Watch yang diedarkan dalam Konferensi Internasional INFID di Bonn, Jerman, 1998.

[15] Institut Dayakologi telah mendokumentasikan sekitar 2.500 judul naskah tradisi lisan dalam bentuk rekaman kaset, video, foto dan slides tentang berbagai tradisi lisan Dayak di Kalbar. Namun sangat sedikit, kalau tidak dibilang hampir tidak ada, generasi muda Dayak yang memanfaatkan informasi yang sangat berharga dan sulit didapat ini.

[16] Seperti yang dikatakan oleh Peluco, meletakkan kepala-kepala yang telah dipenggal di atas drum oleh mereka yang terlibat perang antar etnis di Kalbar beberapa waktu lalu, tentulah bukan berasal dari tradisi Mengayau orang Dayak jaman dulu.

[17] Menurut JJ. Kusni yang pernah membaca versi terjemahan dokumen pemerintah kolonial Belanda tersebut, tidak ada satupun yang menyebutkan secara tegas adanya kesepakatan orang Dayak untuk menghentikan pengayauan dan perbudakan seperti yang sering dinyatakan oleh para tokoh dan pengamat Dayak. Pertemuan tersebut lebih ditujukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang disebabkan oleh pembunuhan dan untuk menghindari sengketa baru. Kusni sendiri menyimpulkan bahwa sengketa-sengketa dimaksud disebabkan oleh 4 hal yakni (1) pembunuhan; (2) orang yang ditawan; (3) perampokan; (4) pernikahan dan warisan. Lihat JJ. Kusni,"Satu Abad Pertemuan Tumbang Anoi & Pelajaran Yang Diwariskannya," dalam JJ. Kusni, Dayak Membangun, The Paragon’s, 1994: 30-38. Mungkin faktor ke 1 & 2 lah yang sering menggiring para pengamat pada kesimpulan bahwa Pertemuan Tumbang Anoi bersepakat untuk "menghentikan pengayauan dan perbudakan". Akhir-akhir ini yang paling gencar menyatakan bahwa Pengayauan telah dihentikan sejak Pertemuan Tumbang Anoi adalah Prof. KMA. Usop.

[18] Kekerasan yang saya maksud di seluruh tulisan ini adalah yang berskala luas dan menimbulkan korban yang besar seperti peristiwa 1967-68, 1996-97, 1999 dan 2001 (Sampit), kecuali jika ada penjelasan lain.

[19] headhunting

[20] Bandingkan ritual Notokng pada Dayak Bukit yang dilakukan selama 7 generasi baru tengkorak boleh dikuburkan.

[21] Saya menyadari bahwa dengan menuliskan kalimat ini, saya sendiri telah mengambil resiko untuk dituduh sebagai seorang psikopat. Namun, saya berkeyakinan bahwa untuk dapat memahami latar belakang perbuatan memotong kepala korban dalam tradisi Mengayau dengan baik hanya bisa dicapai dengan memahami nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya secara jernih, melihatnya secara kontekstual dan positive thinking bukan dengan menggunakan kacamata-kuda atau pre-fit lense.

[22] Disertasi Hermawan Sulistyo tentang pembantaian anggota PKI di Jawa pada tahun 1965-66 dengan jelas menunjukkan kepada kita betapa dalam berbagai kekerasan massal, tindakan brutal memotong kepala lawan seringkali terjadi. Sulistyo bahkan mengungkapkan bagaimana para algojo yang mengeksekusi para anggota PKI tersebut tidak hanya memotong kepala, tetapi juga meminum darah dan memotongi anggota tubuh korban-korban mereka. Lihat Hermawan Sulistyo,"Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan (1965-1966)", Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000. Demikian pula, tindakan memotong kepala kita tahu merupakan bentuk hukuman yang paling populer yang dilakukan oleh tentara Jepang di seluruh Asia dalam Perang Dunia II atau yang lebih baru dari itu misalnya korban Khmer Merah di Kamboja, Perang di Timtim, kasus dukun santet di Banyuwangi, dll.

[23] Bagi subsuku Dayakyang mengenal strata sosial, jaman dulu bahkan seseorang yang berasal dari stata budak ikut dikubur secara utuh (tidak hanya kepalanya) bersama dengan bangsawan yang meninggal. Cf. Karina Arifin,"Penelitian Etnoarkeologi Terhadap Praktek Penguburan Kedua dan Tipe Monumennya di Kayan Mentarang," dalam Eghenter Cristina & Bernard Sellato (Penyunting),"Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan," Jakarta: WWF Indonesia,1999, hal. 435-464.

[24] Beberapa subsuku Dayak di masa lampau agaknya melakukan hal itu seperti Dayak Iban yang memang terkenal agresif. Di Kabupaten Ketapang, subsuku Dayak Delang, dari provinsi Kalimantan Tengah sekarang, dikenal oleh masyarakat lokal sebagai subsuku yang sering melakukan penyerangan jenis ini.

[25] Lihat misalnya: Drs. Herkulanus Aten,"Hukum Adat dan Adat Istiadat Kematian Dayak Kanayatn" dalam Nico Andasputra &Vincentius Julipin (Eds.) Mencermati Dayak Kanayatn, Pontianak: Institute of Dayakology Research & Development, 1997, hal. 77-86.

[26] Cf. David Hamburg,"Education for Conflict Resolution" 1995, http://www.ccpdc.org/pubs/ed/edfr.htm 8/18/2001 5:38:55 PM

[27] "since wars begin in the minds of men, it is in the minds of men that the defences of peace must be constructed." Anggaran Dasar UNESCO, Preambule, Alenea 2.

[28] "Niat baik" ini agaknya menjadi bagian yang paling menentukan dalam sebuah proses rekonsiliasi yang harus berawal dari kerelaan untuk saling mengakui kekeliruan dan kesalahan yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak yang bertikai. Hizkias Assefa meyakini ada 7 elemen kunci yang menjadi prasyarat bagi terjadinya rekonsiliasi, dimana 6 diantara 7 elemen tersebut mensyaratkan adanya pengakuan, penyesalan dan pemberian maaf. Ke-7 elemen tersebut yakni (1) pengakuan yang jujur dari masing-masing pihak atas luka/penderitaan yang telah dilakukan terhadap yang lain; (2) penyesalan yang tulus dan dalam atas penderitaan yang telah ditimbulkan; (3) kerelaan untuk memaafkan orang lain yang telah menimbulkan penderitaan; (4) kerelaan masing-masing pihak yang terlibat konflik untuk "melepaskan" amarah dan kepedihan; (5) adanya komitmen dari pelaku untuk idak mengulangi lagi tindakannya; (6) usaha yang tulus untuk memecahkan keluhan yang menjadi penyebab konflik serta memberikan konpensasi atas kerusakan yang telah ditimbulkan; (7) memasuki era baru hubungan yang saling memperkaya. Lihat: Hizkias Assefa,"The Meaning of Reconciliation," dalam People Building Peace, ibid, hal. 42.

[29] Mengenai contoh-contoh inisiatif berbagai pihak dalam penciptaan perdamaian di berbagai negara yang terlibat konflik, lihat misalnya "People Building Peace: 35 Inspiring Stories from Around the World," The Netherlands: European Center for Conflict Prevention, 1999.

[30] John Paul Lederach,"Justpeace," dalam People Building Peace, ibid, hal 29.

[31] JJ. Kusni (1994) ibid, hal. 33.

[32] "Contact under unfavorabke conditions can stir up old tensions and reinforce stereotypes." David Hamburg, ibid, hal. 3

[33] Kekerasan yang disebabkan oleh perebutan atas sumber daya alam yang semakin langka terjadi di belahan manapun di dunia, bahkan sejak jaman kolonial. Salah seorang yang pernah melakukan penelitian intensif tentang hal ini adalah Dixon. Lihat: Thomas F. Homer-Dixon,"Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases" Peace and Conflict Studies Program, University of Toronto, International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer 1994), pp. 5-40) & "On the Threshold: Environmental Changes as Causes of Acute Conflict" ibid, Vol. 16, No. 2 (Fall 1991), pp. 76-116.

[34] David Hamburg, ibid, hal. 9.

[35] Lihat misalnya: Michael E. Salla,"Conflict Resolution, Genetics, and Alchemy - The Evolution of Conflict Transmutation," http://trinstitute.org/ojpcr/3_3salla.htm 8/20/2001 6:25:09 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar