Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia

Senin, 05 Desember 2011

Masyarakat Adat Terancam oleh Perluasan Perkebunan Sawit


Strategi pembangunan dan pengembangan perkebunan di Indonesia ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan pasar internasional, dengan demikian komoditi yang ditanam dan dikembangkan merupakan komoditi yang memang akan terserap oleh pasar dan kepentingan perdagangan internasional. Salah satunya, kelapa sawit saat ini merupakan komoditas unggul yang sangat diminati oleh pasar internasional.

Anehnya pemerintah Indonesia tidak melihat keterbelakangan kemampuan produksi menjadi soal. Kenyataan ini bisa dilihat dari strategi yang digunakan untuk menjadikan Indonesia sebagai pemasok kelapa sawit nomor 1 di dunia dengan perluasan besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Memang, dorongan atas ambisi pemerintah tersebut tidak bisa dilepaskan dari pesanan kapitalisme internasional yang tertuang dalam Letter Of Intent (LOI) IMF-RI Oktober 1997 dalam butir 39 tentang “kesepakatan hubungan pengembangan perkebunan kelapa sawit”.

Sebagai catatan penting, strategi pembangunan perkebunan besar yang diorientasikan bagi pemenuhan komoditi pasar internasional, sesungguhnya di Indonesia telah ditempuh sejak Kolonial Belanda memperkenalkan komoditi ekspor bagi pasar Eropa yang menggantikan jenis-jenis tanaman pangan rakyat. Secara umum pula sistem perkebunan besar yang dikembangkan saat ini juga masihlah mencerminkan sistem perkebunan yang dikembangkan sejak zaman penjajahan. Akibat lain atas penerapan sistem yang seperti itu, terjadi mobilisasi tanah besar-besaran bagi keperluan pengembangan perkebunan, juga mobilisasi tenaga kerja murah. Dan jauh lebih menyengsarakan dampaknya bagi rakyat, adalah terampasnya lahan-lahan pertanian, pemukiman dan hutan-hutan rakyat untuk kepentingan tersebut.

Di Kalimantan Barat sampai tahun 2007 mengalami perkembangan yang luar biasa, dengan proyeksi 6 juta ha hingga tahun 2010, sampai saat ini izin yang sudah diterbitkan mencapai 3.380.054,79 ha untuk 233 perusahaan, 1 BUMN, 232 swasta dalam negeri dan luar negeri (rekapitulasi perizinan yang diterbitkan oleh kabupaten-kabupaten di Kalimantan Barat, Juli 2006). Dari data tersebut dapat dilihat laju perkembangan pembangunan di Kalimantan Barat; di mana pada era 1980-an luas areal kebun sawit 70.110 ha, pada dekade 1990-an 404.589 ha mengalami kenaikan 5-6 kali lipat (577%), di era 2000-an luas areal kebun kelapa sawit menjadi 3.508.281,79 ha atau naik sekitar 8 kali lipat (867%) dari luas kebun sawit di era/dekade 1990-an.

Masalahnya, dalam melakukan pembebasan lahan, negara menggunakan kelemahan masyarakat dalam menguasai tanah. Karena, penguasaan tanah yang sejak lama berkembang di masyarakat bersandar pada relasi sosial dan relasi dengan alamnya, sehingga tanah dan kekayaan alam yang ada tidak hanya memiliki fungsi ekonomis belaka namun juga memiliki fungsi sosial, politik, budaya dan lingkungan. Maka strategi ekstensifikasi dalam pembangunan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit akan memorak-porandakan penguasaan tanah dan kekayaan alam yang secara turun-temurun dijunjung tinggi oleh masyarakat. Upaya dari pemerintah untuk membuka seluas-luasnya bagi investasi dan memberikan kemudahan pada izin baru untuk perkebunan sawit, semata-mata didasarkan oleh pertimbangan aspek ekonomi saja, tanpa pertimbangan-pertimbangan yang bersifat strategis bagi kemajuan masyarakat adat dan pembangunan pedesaan pada umumnya. Orientasi untuk mengejar keuntungan dan menjadikan sektor perkebunan kelapa sawit sebagai sumber terpenting devisa negara telah meminggirkan bahkan menggusur masyarakat adat dengan segala potensi ekonomi, sosial dan budaya yang dimilikinya.


Masyarakat Adat Harus Berlawan

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman yang paling dekat dan nyata ada di hadapan kita. Ancaman tersebut berupa terampasnya tanah dan kekayaan alam baik berupa lahan pertanian, kawasan hutan adat maupun kawasan pemukiman. Perlu diingat bahwa ”tanah dan kekayaan alam merupakan wujud dari eksistensi masyarakat adat” artinya tidak ada lagi masyarakat adat jika tanah dan kekayaan alamnya sudah dirampas untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit”.

Dengan demikian, untuk tetap mempertahankan eksistensinya tidak ada kata dan tindakan lain kecuali ”MASYARAKAT ADAT HARUS BERLAWAN”. Dengan cara lebih tinggi lagi masyarakat adat melakukan prakarsa politik dan prakarsa organisasi untuk mempertahankan hak-hak sosial ekonominya. Serta, melakukan upaya-upaya untuk mengorganisasikan dirinya dalam kesatuan pikiran dan tindakan, memperluas pengetahuan bahwa sistem perkebunan besar kelapa sawit tidak mungkin berkelanjutan secara ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan hidup. Juga, dituntut untuk sesegera mungkin mengonsolidasikan diri dengan gerakan rakyat lainnya bagi perjuangan pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan politiknya. Selamat berjuang!!!


Jupri’s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar